Pengabdi Setan 2: Communion, Seramnya Kehidupan Sebelum Era Digital

By | November 15, 2023


#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik

Pengabdi Setan 2: Communion memang seram. Sebab filmnya menggambarkan kehidupan sebelum era digital. Dari mulai orang-orangnya belum mengenal internet sampai terbatasnya komunikasi.

Anak-anak yang menjadi tokoh utama di film ini, yaitu Rini, Toni, dan Bondi sempat kehilangan jejak sang ayah. Pasalnya, sewaktu meninggalkan rumah untuk merantau ke kota, Bapak tidak pernah video call dengan anak-anaknya. Selain karena sibuk kerja, yang jelas saat itu juga belum ada teknologi video call.

Di awal cerita filmnya, diceritakan Rini diganggu penampakan-penampakan aneh di rusun. Melalui bibir pintu, Rini menyaksikan tetangga-tetangga rusunnya sedang melakukan aktivitas tak lazim di unit masing-masing. Dari mulai keluarga yang tertawa menonton acara televisi, lanjut ke keluarga sebelahnya yang terhibur dengan mendengarkan siaran radio, sampai keluarga berikutnya yang terbahak-bahak menghadap tembok. Kemungkinan keluarga terakhir tidak punya pesawat televisi dan radio, jadi hiburannya cuma tembok. Seram, bukan?

Zaman dulu yang serba analog memang tidak bisa disamakan dengan zaman serba digital seperti sekarang. Seandainya Pengabdi Setan 2 berlatarkan pada era digital, kemungkinan tetangga-tetangga Rini itu sedang asyik nonton Netflix, mendengarkan podcast, sampai sibuk menatap tembok. Tapi temboknya tembok Facebook. Tidak jadi seram, karena masih bernuansa digital, bukan?

Selain adegan tetangga-tetangga aneh, Pengabdi Setan juga menunjukkan adegan seram lewat adegan lift yang rusak. Saat itu jalur komunikasi begitu terbatas. Begitu lift rusak, penghuni rusun langsung panik dan menekan-nekan tombol lift. Sampai akhirnya lift ambrol dan terjadilah kecelakaan yang mengerikan. Kalau zaman sekarang tinggal telepon teknisi untuk minta tolong. Tetap panik sih, tapi masih ada harapan.

Keseraman lainnya ditampilkan lewat dilema Toni yang dijebak untuk memilih senter atau korek api. Ceritanya, Toni dimintai tolong oleh pemuka agama untuk menengok unit-unit rusun di mana ada jenazah korban kecelakaan lift di sana. Untuk menemani perjalanan uji nyali itu, Toni memilih korek api sebagai penerang jalan di koridor rusun yang gelap karena badai dan mati lampu. 

Coba kalau setting waktunya zaman sekarang, bisa pakai senter hape. Nggak perlu repot-repot menyalakan korek api. Kalau Toni takut, tinggal minta ditemani via video call oleh tokoh bernama Tari yang diperankan Ratu Felisha.

Bisa dibayangkan seramnya keadaan pada zaman ketika cerita Pengabdi Setan 2 ini terjadi: terbatasnya pilihan hiburan, komunikasi yang terkendala teknologi, sampai opsi penerangan yang terbatas.

Suramnya setting waktu Pengabdi Setan 2 berbanding terbalik dengan cemerlangnya perolehan penonton dari film horor besutan Joko Anwar ini. Dengan memanfaatkan platform digital, Joko Anwar bisa mempromosikan filmnya sampai laku keras. Pencapaian sekuel filmnya ini sampai menyaingi film pendahulunya.

Film pertama Pengabdi Setan pun bisa sukses karena jelinya Joko Anwar memanfaatkan internet. Berawal dari Joko Anwar menantang para warganet untuk membuat meme dengan menggunakan poster Pengabdi Setan. Bukannya baper karyanya dijadikan parodi, Joko Anwar justru memfasilitasi kreativitas para pembuat meme.

Meme yang memparodikan Pengabdi Setan itu turut menjadi sumber promosi untuk filmnya itu sendiri. Alhasil, banyak orang yang melihat meme itu menjadi penasaran dan berakhir di depan kasir bioskop untuk memesan tiket filmnya. Bahkan di satu infotainment, ada segmen yang membahas meme-meme Pengabdi Setan. Salah satu meme yang lucu adalah plesetan Pengabdi Setan menjadi Pengap di Kosan. Lucu, bukan?

Dengan kekuatan digital, sesuatu yang seram memang bisa jadi lucu. Bahkan membahagiakan dan membanggakan bagi Joko Anwar yang mendapatkan apresiasi untuk karyanya dari penggemarnya di media sosial, tentu saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *