Mengantisipasi Stres Digital pada Anak
Mengantisipasi Stres Digital pada Anak…
Mengantisipasi Stres Digital pada Anak…
#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik
Media sosial (medsos) telah menjadi bagian dari kehidupan kita semua, tak terkecuali anak-anak kita. Walau mendatangkan banyak manfaat, jika tidak hati-hati, medsos berpotensi membahayakan anak-anak kita. Oleh sebab itu, orangtua perlu melindungi anak-anaknya dari risiko-risiko merugikan dari penggunaan medsos yang mungkin bisa menimpa anak-anak mereka.
Membekali anak dengan literasi medsos adalah upaya antisipatif yang dapat dilakukan para orangtua agar-anak-anak mereka tetap aman menggunakan medsos.
Secara umum, literasi dipahami sebagai kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan yang memungkinkan kita berkomunikasi secara efektif. Ini adalah kemampuan dasar yang idealnya mesti dimiliki oleh setiap individu.
Namun, seiring kemajuan teknologi, kemampuan dasar seperti itu tampaknya masih kurang cukup sebagai bekal untuk bisa berkomunikasi secara efektif di zaman now ini.
Seiring kemajuan teknologi, kita membutuhkan kemampuan literasi yang tak hanya sekadar mampu membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Kita dituntut pula menguasai bentuk-bentuk literasi lainnya. Salah satunya yaitu literasi medsos.
Secara sederhana, literasi medsos didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakses, memahami, menganalisis, dan menghasilkan informasi melalui medsos.
Seperti kita ketahui, sejak hadirnya medsos, kita bukan hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga dimungkinkan menjadi produsen dan juga distributor informasi. Dengan karakternya yang sangat longgar dan terbuka, siapa pun dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi.
Anak perlu dibekali kemampuan literasi medsos agar mereka tak hanya sebatas mampu mengakses medsos, tetapi juga mampu memahami, menganalisis, serta memproduksi informasi melalui medsos.
Lantas, apa yang perlu orangtua upayakan dalam membekali anak dengan kemampuan literasi medsos?
Pertama, melindungi privasi diri sendiri. Medsos dirancang sebagai media untuk berbagi. Namun, dengan karakternya yang sangat longgar dan terbuka, medsos memiliki celah dalam hal privasi para penggunanya. Oleh sebab itu, pastikan anak memahami soal ini. Ajari anak untuk mengelola pengaturan privasi di medsos. Pastikan mereka paham informasi pribadi yang tak seharusnya diunggah di medsos.
Kedua, menghormati privasi orang lain. Setiap orang memiliki privasinya masing-masing. Kita wajib senantiasa menghormatinya. Ajari anak hal ini, agar paham ketika menggunakan medsos mereka harus selalu menghormati privasi pihak lain. Dengan demikian, mereka tidak akan sembarangan mengunggah atau membagikan gambar, foto, video orang lain di jejaring medsos, tanpa seizin orang bersangkutan.
Ketiga, menjadi warganegara yang baik. Seperti di dunia nyata, dunia virtual juga memiliki aturan dan etika. Kita wajib mematuhi aturan dan etika itu. Maka, ajari anak untuk memperlakukan interaksi di dunia virtual seperti di dunia nyata. Latih dan ajari anak, bagaimana berkomentar atau menyampaikan pendapat secara santun, dengan bahasa yang tertata. Ajari pula anak untuk mengedepankan empati dalam setiap interaksi yang dilakukannya di jagat virtual.
Keempat, belajar menjadi skeptis. Medsos saat ini menjadi salah satu alat untuk menyebarkan informasi secara cepat dan masif. Sayangnya, tidak semua informasi dapat dipertangungjawabkan kebenarannya. Tidak sedikit informasi yang disebarkan lewat medsos adalah kabar bohong. Menjadi skeptis adalah sikap yang perlu dilakukan saat kita dihadapkan pada gelontoran informasi di medsos. Dalam hal ini, ajari anak untuk selalu bersikap skeptis. Caranya dengan membekali mereka dengan kampuan untuk mengecek fakta dan data. Ajari anak untuk mengenali mana sumber-sumber informasi yang layak dipercaya dan mana yang tidak layak. Dalam soal gambar dan video, pastikan anak memiliki kemampuan mengenali mana gambar dan video yang wajar dan mana yang tidak wajar. Dengan demikian, anak tidak akan langsung menelan mentah-mentah setiap informasi yang diterimanya melalui medsos.
Kelima, menetapkan batas. Akses medsos yang tidak terkendali dapat saja membuat anak mengalami adiksi. Ini berpotensi mengganggu aktivitas lainnya yang justru penting baginya seperti belajar dan istirahat. Ajari anak untuk memahami kapan waktunya bermedsos dan kapan waktunya untuk melakukan kegiatan lainnya. Untuk itu, ajak anak untuk membuat ketetapan batas waktu dalam hal penggunaan medsos. Buat kesepakatan dengannya dalam hal ini. Jelaskan risiko-risikonya jika anak mengabaikan pembatasan waktu ini.
Sebagaimana dipaparkan di muka, medsos sesungguhnya dapat mendatangkan banyak manfaat buat kita, termasuk anak-anak kita. Namun, jika tidak hati-hati, ia dapat saja membawa sejumlah kerugian. Dengan anak memiliki kemampuan literasi medsos, diharapkan berbagai dampak buruk penggunaan medsos dapat dihindari.
#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik
Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) memperkirakan 1 dari 3 pengguna internet di seluruh dunia adalah anak-anak. Menurut UNICEF, setiap hari ada lebih dari 175.000 anak online untuk pertama kalinya.
Terus terang saja, akses internet membawa banyak manfaat dan peluang bagi anak-anak. Tapi, jika tidak hati-hati, internet juga dapat membawa risiko membahayakan bagi mereka.
Salah satu hal yang perlu diajarkan para orangtua kepada anak-anak dalam kaitannya dengan penggunaan internet yaitu bagaimana menjaga jejak digital. Sebagaimana kita ketahui, setiap aktivitas online kita selalu meninggalkan jejak-jejak digital.
Laman kaspersky.com memberi batasan jejak digital sebagai jejak-jejak data yang kita tinggalkan saat menggunakan internet. Ini mencakup website yang kita kunjungi, e-mail yang kita kirim, dan informasi yang kita kirimkan secara online. Pengguna internet, termasuk mereka yang masih anak-anak, menciptakan jejak digital mereka, baik secara aktif maupun pasif.
Jejak digital aktif tercipta ketika pengguna internet dengan sengaja berbagi informasi tentang diri mereka sendiri. Misalnya, melalui postingan atau berpartisipasi di situs jejaring sosial atau forum online. Jika pengguna masuk ke sebuah website melalui nama pengguna atau profil terdaftar, setiap postingan yang mereka buat merupakan bagian dari jejak digital aktif mereka. Aktivitas lain yang berkontribusi pada jejak digital aktif termasuk mengisi formulir online atau menyetujui untuk menerima cookie lewat perambah (browser).
Sementara itu, jejak digital pasif tercipta ketika informasi dikumpulkan tentang pengguna internet tanpa mereka sadari. Contohnya, situs jejaring sosial dan pengiklan yang memanfaatkan fasilitas like, share, dan comment untuk membuat profil para pengguna dan kemudian menarget mereka dengan konten-konten tertentu.
Jejak digital relatif permanen. Sampai batas tertentu, kita mungkin bisa menghapus jejak digital. Namun, tidak berarti jejak digital itu benar-benar hilang. Karena sumber-sumber lain mungkin saja masih menyimpan jejak-jejak digital kita.
Jejak digital sendiri sangat ikut menentukan reputasi online seseorang, yang sama pentingnya dengan reputasi offline. Sekarang ini, mulai banyak perusahaan yang menjadikan jejak digital sebagai salah satu bahan pertimbangan perekrutan calon karyawan.
Maka, menjaga jejak digital memang penting dilakukan. Komentar, foto atau video yang kita unggah secara online dapat saja menyinggung seseorang atau juga disalahtafsirkan atau malah diubah oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan tertentu.
Konten-konten sensitif yang semula ditujukan untuk grup pribadi atau keluarga dapat saja akhirnya menyebar ke kalangan yang lebih luas dan menimbulkan kegaduhan.
Belum lagi para penjahat dunia maya yang setiap saat dapat mengeksploitasi jejak digital dan memanfaatkannya untuk sejumlah aktivitas kriminal.
Oleh sebab itu, anak-anak kita perlu sekali diberitahu dan dibimbing bagaimana caranya menjaga jejak digital mereka dengan melakukan beberapa langkah berikut.
1. Aktifkan pengaturan privasi medsos
Setiap situs jejaring sosial, blog, dan profil online umumnya memiliki pengaturan privasi. Ajari anak untuk mengaktifkan pengaturan privasi ini. Beri anak pemahaman mana informasi yang boleh diketahui publik dan mana yang tidak boleh. Ingatkan anak agar jangan pernah mengungkapkan informasi pribadi, seperti alamat rumah, nomor telepon, nama sekolah ketika online.
2. Menimbang sebelum posting
Minta anak agar selalu menimbang dan memikirkan terlebih dahulu sebelum memposting sesuatu secara online. Karena selain dapat diakses publik, postingan yang dibuat dapat saja berdampak pada reputasi online di masa depan atau juga membawa dampak hukum. Begitu juga dalam soal membagikan sesuatu. Ajari anak agar paham mana hal yang memang layak dibagikan dan mana yang tidak layak dibagikan secara online.
3. Selalu mengakses website yang aman
Beritahu anak agar senantiasa mengakses website yang aman, yang alamat URL-nya diawali dengan https, yang merupakan singkatan dari hypertext transfer protocol secure. Juga pastikan memiliki ikon gembok di sebelah kiri bilah alamatnya.
Di era digital sekarang ini, anak-anak kita memiliki hak penuh untuk melakukan aktivitas online. Tugas para orangtua yaitu mengajari dan membimbing mereka agar mampu menjaga jejak digital mereka demi keamanan, keselamatan, dan masa depan mereka.
#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik
Kondisi yang disebut FOMO (fear of missing out) semakin mengemuka di zaman serba digital, terutama seiring dengan menguatnya penggunaan media sosial sekarang ini.
Nah, apa sesungguhhnya yang dimaksud FOMO? Apa penyebabnya dan apa saja tanda-tandanya? Sejauh mana kaitan FOMO dengan penggunaan media sosial?
Kira-kira apa yang perlu dilakukan para orangtua jika kondisi FOMO menimpa anak-anak mereka? Bagaimana agar FOMO tidak sampai harus dialami anak-anak?
Menurut Kate Brush (2022), FOMO merupakan respons emosional terhadap keyakinan bahwa orang lain hidup lebih baik, atau memiliki kehidupan yang lebih memuaskan, maupun adanya hal-hal yang dinilai penting yang terlewatkan.
FOMO sering menyebabkan perasaan tidak nyaman, tidak puas, depresi dan stres. Keberadaan media sosial dituding telah meningkatkan prevalensi FOMO selama beberapa tahun terakhir ini.
Secara teoritis, kondisi FOMO dihasilkan oleh amigdala, yaitu bagian otak yang mendeteksi apakah ada sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup atau tidak. Bagian otak ini merasakan bahwa kesan tertinggal dari orang lain sebagai ancaman, yang kemudian menciptakan stres dan kecemasan
Keberadaan ponsel pintar dan media sosial disebut-sebut telah ikut meningkatkan terjadinya kondisi FOMO karena menciptakan situasi di mana para penggunanya dapat terus-menerus memantau dan membanding-bandingkan hidup mereka dengan orang lain.
Apa-apa yang diposting dan muncul di media sosial lantas menjadi rujukan utama. Ketika muncul ketidakmampuan dalam hal mewujudkan apa yang menjadi rujukan, maka kecemasan atau ketidakpuasan segera menghinggapi.
Karenanya, media sosial kerap dianggap sebagai sebab dan akibat dari FOMO sekarang ini. Dalam kaitannya dengan media sosial inilah, terdapat beberapa tanda ketika seseorang telah mengalami kondisi FOMO.
Pertama, terus-menerus memeriksa media sosial (bahkan saat berlibur, keluar bersama teman, atau menghadiri acara yang menyenangkan sekalipun).
Kedua, selalu mengaktifkan notifikasi media sosial demi mendapatkan update terkini dan untuk melihat tanggapan orang-orang terhadap kiriman postingan yang diunggah.
Ketiga, merasa perlu terus menerus online untuk merespons setiap komentar atau posntingan yang diunggah di media sosial.
Keempat, secara obsesif terus-menerus memposting aktivitas harian melalui media sosial.
Kelima, cenderung merasa sedih, kesepian, atau tertekan setelah eksis di media sosial untuk jangka waktu yang lama.
Keenam, merasa tidak puas dengan kehidupan diri sendiri dengan selalu membandingkannya dengan kehidupan orang lain.
Ketujuh, membuat pilihan atau keputusan hanya berdasarkan apa yang dilihat secara online lewat media sosial.
Sebagai bagian dari masyarakat digital sekarang ini, anak-anak dapat pula dijangkiti oleh kondisi FOMO.
Orang tua memiliki peran krusial dalam ikut mengatasi dan juga menangkal kondisi FOMO yang kemungkinan dihadapi anak-anak mereka.
Para orang tua perlu menanamkan keyakinan kepada anak-anaknya bahwa apa yang dilihat secara online, terutama di jejaring media sosial, hanyalah bagian kecil dari kehidupan dan tak selalu menunjukkan realita yang sesungguhnya.
Berilah pengertian dan pemahaman kepada anak bahwa masih banyak hal-hal menarik dan bermanfaat yang dapat dilakukan secara offline daripada terus-menerus online mengakses media sosial.
Tantanglah anak agar berani hidup tanpa terus-menerus terkoneksi dengan dunia virtual dan yakinkan mereka bahwa kehidupan mereka akan baik-baik saja walau tak selalu terkoneksi dengan media sosial dan tak eksis di dalamnya.
Jelaskan pula kepada mereka bahwa setiap orang memiliki cara hidup dan kehidupannya masing-masing berikut kelebihan maupun kekurangannya, sehingga tidak perlu menjadikan orang lain sebagai patokan bagi kehidupan pribadi. Apalagi yang ingin dijadikan patokan sang anak hanya figur-figur yang dilihat lewat tampilan media sosial di dunia maya.