Guru dan Teknologi, Sumber Ilmu Zaman Now
#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik
Beberapa minggu setelah dirinya resmi menahkodai kementerian di bidang pendidikan, menteri yang dikenal dengan pendiri perusahaan transportasi online itu berujar “Teknologi itu hanya tool. Hanya suatu metode, bukan segalanya…” Sebuah pernyataan yang sekilas sangat kontras dengan perspektif awal masyarakat terhadap sosok menteri itu.
Jejak digital menjadi saksi ketika nama Mas Nadiem resmi diumumkan sebagai Mendikbud, di saat yang sama muncul banyak postingan bahkan meme terkait ‘ramalan’ pola pendidikan masa depan. Kita memandang beberapa sisi kehidupan dunia sekolah akan berjalan seperti kultur transportasi online itu: guru diberi rating, cash back biaya SPP, belajarnya sesuai aplikasi, dan lain sebagainya.

Namun jika ditelisik lebih jauh, pernyataan yang dilontarkan oleh Mas Menteri itu sangat tepat. Setidaknya untuk saat itu dan sampai hari ini. Mengapa? Pertama, ini merupakan wujud sadar beliau terhadap cara pandang masyarakat yang telah melekat pada profilnya. Kedua, Mas Menteri sepertinya juga ingin agar kehadiran teknologi tidak lantas menegasikan peran sumber ilmu yang tidak kalah pentingnya. Kehadiran guru. Ketiga, Mas Menteri mungkin sadar dengan adanya kesenjangan akses digital antar sekolah maupun antara daerah.
Selama ini — sebelum hadirnya pandemi Covid-19, pembelajaran berbasis digital a.k.a Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dipandang sebagai sesuatu yang wow. Tidak sedikit lembaga pendidikan yang menjadikan e-learning sebagai bagian dari ‘menu’ istimewa mereka. Membuat terpukau calon peserta didik yang kemudian ingin segera belajar disana.
Takdir hadirnya pandemi itu akhirnya memberikan kita beberapa pelajaran baru. Pengajar – peserta didik terpaksa untuk melek dengan teknologi. Dunia pendidikan kita mulai familiar dengan berbagai platform yang digunakan dalam pembelajaran. Tidak hanya di kota dengan daya dukung yang optimal, sekolah-sekolah dengan akses internet terbatas pun ikut meramaikan pembelajaran di ruang-ruang digital itu.
Kemudian, tanpa terasa hari-hari pembelajaran sudah terbiasa dimediasi dengan sesuatu yang dikenal seperti zoom meeting, google meet, microsoft office 365, rumah belajar, dan lain sebagainya. Awalnya terbata, akhirnya terbiasa. Karena terbiasa, nuansa wow itu pun mulai sirna.
Sayangnya, keakraban dengan pembelajaran berbasis digital ini berbuah learning loss. Dunia pendidikan kita mulai tersadar bahwa tatap muka bersama sang guru itu sangat utama. Bukanya hanya bak sayur tanpa garam, belajar tanpa tegur sapa langsung dari sang guru benar-benar tidak memberikan energi bagi perkembangan peserta didik. Baik secara akademis, maupun dalam membangun perilaku etis lainnya.
Akhirnya dengan kondisi yang demikian kritis, meskipun terbatas tetapi opsi menghadirkan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) menjadi sebuah pilihan yang harus disegerakan. Seperti saat ini, kita melihat ruang-ruang kelas kembali hidup seperti sedia kala. Suara-suara guru mulai bergairah di depan siswa. Siswa-siswa pun mulai belajar bersama dan bercengkrama langsung dengan teman-temannya di kelas. Tidak kalah bahagia, para orang tua mulai sumringah dan bernafas lega setelah dua tahun stres mendampingi aktivitas online buah hatinya.
Jadi, sepakatkah kita bahwa teknologi itu hanya tool? Andai pun sepakat, tetapi kita dan terutama para pendidik tidak boleh lengah dengan derasnya arus Information & Communication Technology yang terus mengalir ini. Meskipun sepakat, tetapi kita yakin Mas Menteri sadar dan paham sekali dengan kekuatan teknologi. Termasuk di dunia pendidikan ini. Tidak heran jika satu dari empat agenda prioritas yang diperjuangkan oleh Kemendikbud Ristek di forum G20 adalah teknologi digital dalam pendidikan (digital technologies in education).
Nah, untuk para guru bersiap siagalah. Jangan sampai tenggelam oleh arus teknologi yang menyebabkan siswa merubah kiblat sumber ilmunya. Sudah saatnya kesuksesan membangun chemistry kepada peserta didik di simultankan dengan kemampuan beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Dan pada posisi ini, kita sepakat: guru tetaplah koentji.