Tag Archives: Kenali

Hati-hati! Kenali Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online

#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik

Digitalisasi saat ini telah merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia. Meskipun memberikan dampak positif dalam banyak hal, ternyata digitalisasi juga memiliki sisi negatif. Salah satunya adalah hadirnya Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO.

Kekerasan berbasis gender online adalah kekerasan yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi atau media online. Kekerasan yang sering dilakukan secara verbal ini dapat terjadi kepada siapa saja tanpa memandang umur dan jenis kelamin.

Namun, perempuan ternyata lebih rentan menjadi korban pelecehan seksual secara online. Hal ini didukung dengan data yang menunjukkan bahwa dari 22 negara, sebanyak 60 persen perempuan telah mengalami kekerasan berbasis gender online.

Di Indonesia sendiri, sebanyak 38 persen wanita telah mengalami pelecehan seksual online. Hal ini paling banyak terjadi di media sosial Facebook dengan persentase 39 persen.

Media sosial lain seperti Instagram, Whatsapp, Snapchat, Twitter, dan Tiktok juga menjadi platform pelecehan seksual online dengan persentase 6-23 persen.

Angka kekerasan berbasis gender online juga telah meningkat drastis selama pandemi. Pada 5 Maret 2021 Komnas perempuan mencatat terdapat 940 kasus KBGO, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dari tahun sebelumnya yaitu 281 kasus.

 

Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online

Kekerasan berbasis gender online | pexels.com (Roman Pohorecki)

Ada beberapa bentuk kekerasan berbasis gender online yang dapat terjadi disekitar kita. Pertama troling yang merupakan pelecehan berupa penghinaan, candaan, atau komentar seksis.

Hal ini dilakukan secara berulang terhadap korban/penyintas baik di ruang publik maupun secara pribadi melalui private message.

Kedua yaitu penyebaran foto atau video intim tanpa izin. Dalam KBGO jenis ini foto atau video bisa saja dibuat dengan persetujuan penyintas, namun penyebarannya dilakukan tanpa persetujuan mereka.

Pelakunya seringkali merupakan orang dekat seperti mantan pasangan. Hal ini kadang dilakukan karena motif dendam atau sering dikenal dengan revenge porn.

Selanjutnya yaitu doxing dan impersonasi. Doxing merupakan penyebaran informasi personal tanpa persetujuan pemilik informasi.

Sedangkan impersonasi adalah kekerasan berupa pembuatan akun palsu yang seolah-olah merupakan milik korban. Akun ini kemudian digunakan untuk mengunggah konten-konten tertentu yang bertujuan mencemarkan nama baik korban.

Honey trap dan cyber grooming merupakan kekerasan seksual online yang dilakukan menggunakan hubungan romantis sebagai umpan. Pelaku akan membangun kedekatan emosional serta mendapatkan kepercayaan calon korban.

Hal ini kemudian berlanjut dengan pelecehan seksual secara offline. Pada cyber grooming, kejahatan ini biasanya menargetkan anak atau remaja sebagai korban.

Selain hal-hal di atas masih terdapat bentuk kekerasan berbasis gender online lain seperti pemerasan, peretasan akun, manipulasi foto dan video, dan online stalking yang tentu saja bisa merugikan banyak orang.

 

Dampak Kekerasan Berbasis Gender Online

Penyintas KBGO dapat mengalami depresi | pexels.com (Mart Production)

Penyintas kekerasan berbasis gender online dapat mengalami berbagai dampak. Secara psikologis, penyintas dapat mengalami ketakutan, kecemasan, bahkan depresi. Dalam beberapa kasus penyintas juga memiliki keinginan untuk bunuh diri akibat pelecehan seksual yang dialami.

Penyintas juga dapat mengalami keterasingan sosial karena menarik diri dari publik, bahkan keluarga terdekat. Hal ini sering terjadi pada perempuan yang foto atau videonya dibagikan ke publik tanpa persetujuan mereka.

Mobilitas yang terbatas serta kerugian secara ekonomi karena kehilangan pekerjaan atau penghasilan juga merupakan dampak merugikan yang dialami penyintas KBGO.

 

Apa yang bisa kita lakukan?

Penggunaan media sosial | pexels.com (Porapak Apichodilok)

Saat menjadi korban pelecehan secara online kita tentu merasa takut, cemas, marah dan berbagai perasaan lain yang tidak menyenangkan. Namun ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam menghadapi hal tersebut.

Pertama, dokumentasikan pelecehan seksual yang terjadi. Hal ini dapat membantu dalam proses pelaporan kepada pihak yang berwenang.

Selanjutnya jika situasi yang dialami semakin buruk, cari bantuan kepada individu, lembaga, atau instutusi terpercaya seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Komnas Perempuan. Bila diperlukan segera laporkan atau blokir akun yang melakukan kekerasan berbasis gender online.

Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas mengenai kekerasan berbasis gender online. Padahal perkembangan teknologi yang pesat seharusnya diimbangi dengan regulasi yang tepat sehingga tercipta ruang digital yang aman bagi masyarakat.

Kenali Istilah Bubble Burst dalam Startup

#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik

Perkembangan startup di Indonesia sangat maju. Telah banyak masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan yang beralih menjajaki dunia startup. Bahkan anak muda Indonesia saat ini lebih tertarik untuk terjun dalam dunia startup dari bidang pendidikan, finansial, kesehatan, agrikultur, dan lainnya. Potensi yang ada di Indonesia saat ini cenderung dibawa menuju digitalisasi atau berbasis teknologi mengingat perkembangan zaman di era society 5.0.

Namun untuk berhasil mendirikan startup menjadi unicorn, decacorn, hingga hectocorn bukanlah perkara mudah. Walaupun menempati posisi pertama di Asia Tenggara sebagai negara dengan jumlah startup terbanyak, kegagalan menjalankan startup memiliki persentase 90 persen. Hal tersebut dikatakan langsung oleh Fajrin Rasyid, Direktur Bisnis Digital Telkom Indonesia yang pernah menjabat Co-Founder Bukalapak.

Pernyataan tersebut juga didukung oleh tingkat keberhasilan yang rendah dari program Gerakan Nasional 1000 Startup yang diluncurkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dari 1.300 startup yang mengikuti Gerakan Nasional 1000 Startup, yang mampu bertahan hanya mencapai 10 persen.

Ilustrasi kegagalan | Sumber: Pixabay

Salah satu faktor penyebab kegagalan tersebut antara lain adalah kurangnya pengalaman, bisnis yang dihadirkan tidak sesuai kebutuhan pasar, dana yang terbatas, pemasaran yang buruk, serta kalah saing dengan kompetitor lainnya.

Ketika diambang kegagalan, banyak cara yang dilakukan oleh founder startup untuk mempertahankan bisnisnya. Salah satunya adalah dengan pemutusan hubungan kerja. Saat ini telah beredar kabar adanya pengurangan karyawan di sejumlah startup besar Indonesia. Antara lain Zenius, LinkAja, dan yang terbaru JD.ID. Jarak pemutusan hubungan kerja antara ketiga startup tersebut ternyata berdekatan dan diduga berkaitan dengan fenomena bubble burst. Apakah memang benar PHK yang terjadi memiliki keterkaitan dengan bubble burst?.

Fenomena bubble burst merupakan pertumbuhan ekonomi yang diawali dengan peningkatan yang pesat dengan ditandai nilai aset yang meroket tajam dan diakhiri dengan penurunan yang sangat cepat pula. Penurunan itulah yang disebut sebagai bubble burst atau ledakan gelembung.

Faktor-faktor penyebab dari bubble burst antara lain ketika permintaan konsumen mencapai puncak akibat adanya promo serta diskon. Untuk dapat bertahan dengan tetap mengadakan promo bukanlah perkara mudah. Konsumen saat ini sangat sensitif terkait ada atau tidaknya diskon. Jika tidak ada diskon atau promo maka penjualan akan menurun.

Selain itu saat ini startup di Indonesia banyak bermunculan. Pesaing baru menjadi tantangan tersendiri untuk menjaga pangsa pasarnya. Produk yang tidak memiliki nilai lebih akan kalah bersaing dengan kompetitornya. Jika telah kehilangan pasar maka akan sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari investor dalam mendanai keberlanjutan bisnis. 

Ilustrasi startup | Sumber: Unsplash (Scott Graham)

Berkaitan dengan investor, akibat berbagai macam masalah pada ekonomi global membuat investor lebih selektif dalam mengeluarkan uangnya. Dahulu ketika startup sangat ramai dibicarakan, investor terbilang gampang untuk menyuntikkan dananya. Hal tersebut membuat startup menjadi ketergantungan dengan adanya dana investor. Jika tidak berhasil mendapatkan pendanaan maka kegiatan operasional pasti akan sangat terganggu. Bahkan bisa menyebabkan gulung tikar.

Namun, menurut Rudiantara yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia menjelaskan jika adanya PHK pada startup besar di Indonesia bukanlah akibat dari fenomena bubble burst. Adanya pemutusan kerja merupakan hal yang wajar dialami oleh suatu perusahaan. Peristiwa tersebut tidak separah fenomena bubble burst pada dunia industri internet di tahun 1990-an atau sering dikaitkan dengan dotcom bubble. 

Hal yang sama juga disampaikan oleh Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, apa yang terjadi pada startup besar di Indonesia saat ini bukanlah fenomena bubble burst atau pecahnya gelembung, namun merupakan kebocoran pada gelembung. Pendanaan yang sulit menjadi alasan kebocoran gelembung pada perusahaan. Karena saat ini banyak perusahaan yang menerapkan strategi bakar uang untuk menarik minat konsumen. Namun, menurut Heru, strategi tersebut akan mengalami kerontokan dalam 1-2 tahun ke depan.

Sumber: Situs ICAAI | Situs Katadata