Ingat, Punya Akun Kedua di Instagram Tidak Selalu Buruk!
#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik
Ada suatu masa di mana Instagram mulai mendorong penggunanya untuk membuat akun baru. Ajakan ini disertai alasan untuk memulai awal yang baru atau menjadikan pengalaman bermedia sosial kian intim dengan orang-orang terdekat.
Pembuatan akun-akun baru oleh pengguna yang sebelumnya sudah memiliki akun, atau disebut sebagai akun kedua (second account/fake instagram/finsta), tak jarang menuai protes. Ada banyak pengguna Instagram yang berlindung di akun dengan identitas tersamarkan. Beberapa di antaranya kerap mengeluarkan komentar dengan nada kasar di akun-akun lainnya. Nama mereka tak tertera, foto profilnya juga bukan foto asli. Secara sederhana, memang ada beberapa orang yang “berlindung” di balik akun-akun kedua, ketiga, dan seterusnya, di Instagram.
Namun, benarkah fenomena ini selalu berkonotasi negatif?
Dewasa ini, istilah “Instagrammable” kian mengakar di antara kita. Pencapaian gemilang, karier cemerlang, mobil baru, OOTD yang apik, hingga persahabatan dan hubungan romantis yang harmonis sekaligus menjadi goals bagi banyak orang kerap muncul di Instagram, mendapatkan like dan angka share yang tinggi. Nongkrong di kafe, pertemuan penting, dan hal-hal “mewah” lainnya kerap dipamerkan pula di Instagram Story. Hal ini memang mengagumkan, tetapi—di lain sisi—mendorong rasa tak nyaman dan insecurity bagi sebagian pengguna.
Ke mana mereka harus “berlindung”? Benar: akun kedua. Tak sedikit orang memutuskan memiliki akun baru untuk menghindari perasaan ketinggalan dari teman-teman sebayanya. Di sana, dia bisa melakukan apa pun yang ingin dilakukan. Mengunggah foto tanpa make up saat bangun tidur sebagai apresiasi diri sendiri yang siap menjalani hari baru? Silakan. Memamerkan foto bersama koleksi album penyanyi kesayangan, alih-alih piala-piala pencapaian lomba di sekolah? Tentu saja bisa.
Tak ada filter di akun kedua, terlebih yang sifatnya private dan hanya bisa dinikmati circle yang lebih intim. Tak ada keraguan untuk mengunggah konten mana saja yang diambil dengan ponsel. Tidak, kita tidak sedang membicarakan kebebasan mengunggah konten berlebihan yang bahkan seharusnya tidak diunggah ke media sosial, kok. Namun, coba bayangkan: Bisa jadi, kamu akan merasa lebih nyaman jika sepuluh foto hewan peliharaanmu yang lucu itu kamu unggah di akun keduamu ketimbang di akun utamamu yang menonjolkan self-branding dan portofolio yang profesional.
Tidak ada kurasi di akun kedua. Kita bisa menulis caption yang kita suka. Kita bisa memilih akun-akun lain yang kita ikuti, menciptakan algoritma di halaman explore untuk memunculkan hanya konten-konten yang kita sukai secara pribadi.
Lupakan soal aktivitas stalking yang “aman” karena namamu tersamarkan, akun kedua bahkan bisa menawarkan keamanan lain yang sesungguhnya: Kamu hanya akan melihat akun-akun yang kamu gemari. Tidak ada tekanan mengunggah konten bertema “pencapaian cemerlang”. Kamu bisa menikmati media sosialmu sendiri sesuai dengan cara yang kamu mau dan suka.
Lalu, apakah memiliki akun kedua tetap bernilai buruk?
Tentu saja tidak. Pada dasarnya, penggunaan kata-kata kasar atau melewati batas yang diperbolehkan pasti tidak diizinkan di akun mana saja, baik akun utama atau akun kedua. Kelahiran akun kedua semestinya tetap terjaga menjadi sesuatu yang pribadi dan tidak menganggu pihak lain. Masing-masing dari kita berhak memilih untuk mempunyai akun yang lebih tenang dan intim, bukan? Sedikit rahasia seperti ini nyatanya bisa menghadirkan “surga” baru di dunia media sosial Instagram.
Dan sebaiknya, “surga” ini tetap terjaga menyenangkan, bukannya dikotori oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.