Tag Archives: Tengah

Mahasiswa dan Bonus Demografi di Tengah Transformasi Digital

#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik

Indonesia bukan hanya negara kepulauan terbesar tetapi juga salah satu bangsa terbesar di dunia. Worldometer (2022) menyajikan data statistik yang menunjukkan Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penduduk sebanyak 279, 84 juta jiwa. Sementara data demografi Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa 67,15 juta atau setara 24,62% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2021 merupakan pemuda yang berusia 16 sampai 30 tahun. Angka ini menandakan keberadaan pemuda di Indonesia hampir seperempat jumlah penduduknya. Tentu, secara kuantitas hal ini cukup besar, bukan? Bersamaan dengan itu, kini Indonesia sudah memasuki momentum langka yang kerap disebut dengan bonus demografi. Sebuah kondisi dimana populasi usia produktif lebih banyak dari usia nonproduktif.

Realita ini tentu menjadi suatu kabar baik, sebab menciptakan windows opportunity bagi negara Indonesia dalam menambah laju perekonomian yang akan memberikan pengaruh massal terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. Apabila kesempatan emas ini berhasil dilewati, maka dengan roda ekonomi yang siap bersaing secara global akan mengantarkan Indonesia menuju negara maju. Namun, untuk menghadapi momen ini tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Sehingga, negara kita membutuhkan “pawang”.

Di tengah perkembangan teknologi dari waktu ke waktu yang semakin menyatu dengan kehidupan masyarakat kian berdampak pada perubahan cara pengelolaan sumber daya dan proses produksi. Pada fase ini lah transformasi digital secara perlahan memberikan dampak besar pada ekonomi, sosial dan budaya. Pada satu sisi, adaptasi teknologi menjadi suatu hambatan. Namun, di sisi lain “keterpaksaan” adaptasi teknologi justru menjadi suatu kekuatan bagi Indonesia untuk melangkah lebih siap dalam menghadapi masa transformasi digital ini. Sebaik-baiknya teknologi diciptakan, people tetap menjadi kunci utama penggerak roda transformasi. Untuk itu, apabila tantangan bagi bangsa lain adalah rendahnya angka estafet generasi, tentunya Indonesia memiliki peluang yang lebih tinggi untuk memimpin dunia dengan adanya bonus demografi.

Lantas, apakah pemuda Indonesia khususnya mahasiswa sebagai agent of change sudah siap menjadi “pawang” untuk melampaui transformasi ini? Atau lebih tepatnya, apakah yang sudah mahasiswa Indonesia siapkan sebagai calon generasi bangsa dalam menghadapi transformasi digital ini? Setidaknya ada tiga hal utama yang perlu menjadi perhatian sekaligus tantangan bagi mahasiswa dalam menjelajahi transformasi ini kelak.

Pertama, meningkatkan kesadaran, etika dan moral secara digital. Sebab, sebagaimana dikutip dari  Katadata (2021) bahwa Indonesia menempati posisi negara dengan indeks kesopanan digital (Digital Civility Index) atau DCI paling buruk se-Asia Pasifik pada tahun 2020. Hoaks dan penipuan 47% menjadi risiko kesopanan digital yang paling besar, risiko ujaran kebencian 27% dan risiko diskriminasi 13%. Padahal, Indonesia merupakan negara yang sarat dengan keragaman budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Untuk itu, mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan harus terus berbenah. Sebagai sosok guardian of value, mahasiswa juga memiliki harus memiliki kapasitas untuk bergerak dan mendorong tumbuhnya rasa saling menghargai dan menghormati orang lain, menghargai perbedaan yang ada, serta menjaga nilai-nilai kebaikan yang ada di masyarakat. Sebab dengan lebih tertib dan santun dalam memanfaatkan teknologi digital, kelak juga akan meninggalkan jejak digital yang bisa menjadi saksi sejarah sekaligus teladan bagi anak cucu bangsa.

Kedua, meningkatkan literasi dan kecakapan adaptasi digital. Seyogianya, adaptasi teknologi dan peningkatan literasi digital mutlak dilakukan, agar Indonesia tidak sekadar menjadi market, namun turut serta sebagai aktor yang memainkan peran dalam berbagai aspek global. Penelitian terbaru dari World Economic Forum (2018) memperkirakan bahwa pada tahun 2025, mesin akan melakukan lebih banyak tugas kerja saat ini daripada manusia, dibandingkan dengan 71% yang dilakukan oleh manusia saat ini. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bawa transformasi digital dan revolusi industri dapat membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Maka, sebagai langkah preventif terhadap meningkatnya penggangguran sebagai dampak mengalirnya digitalisasi dalam sendi kehidupan global, diperlukan adanya peningkatan ekosistem digital termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Keberhasilan adaptasi teknologi oleh seluruh kalangan masyarakat terutama mahasiswa yang kelak menjadi iron stock bangsa Indonesia akan menjadi pawang dalam menyikapi transformasi digital pada berbagai aspek.

Ketiga, menjadi mahasiswa yang inovatif, kreatif, dan inspiratif. Penggunaan teknologi semakin berkembang, dan segala hal yang manual dan tidak praktis mulai ditinggalkan. Para mahasiswa diharapkan bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing mereka, terutama di level global.

Indonesia yang lebih maju akan berada di tangan pemuda bangsa. Oleh karena itu, pemuda untuk Indonesia maju adalah mahasiswa yang memiliki karakter, kapasitas, kemampuan inovasi, kreativitas yang tinggi, mandiri, inspiratif, serta mampu bertahan dan unggul dalam menghadapi persaingan dunia. Untuk itu, sebagai harapan bangsa dan mampu beraksi nyata, mari kita berupaya menjadi mahasiswa yang cerdas, bijak, dan tidak gampang terpecah belah.

Peran Public Relation di Tengah Berkembangnya Artificial Intelligence

Perkembangan Artificial intelligence (AI) di era digital ini tidak bisa kita hindari. Kehadiran AI tentu akan memudahkan pekerjaan manusia namun juga dikhawatirkan dapat menghilangkan berbagai macam jenis pekerjaaan, termasuk public relation (PR). Lalu, apakah peran PR professional tetap penting dan  dibutuhkan? Jika tetap dibutuhkan, seperti apakah peran PR tersebut?

Saat ini PR tengah memasuki era PR 4.0 yang merupakan masa dimana profesi PR harus menghadapi persaingan keras dengan AI sebagaimana disebutkan dalam  buku berjudul “Public Relations in the Era of Artificial Intelligence” karya Dr. N. Nurlaela Arief.

Fenomena ini belum sepenuhnya terlihat, namun tanda-tanda dan perkembangan ini sudah muncul secara signifikan. Diantara tanda-tanda tersebut adalah robot sudah mampu menulis artikel di beberapa media serta munculnya berbagai perangkat untuk menyedehanakan tugas PR. 

Pekerjaan yang sifatnya berulang-ulang dan rutin sangat berpotensi untuk diganti oleh AI. Kondisi ini menuntut PR untuk lebih kreatif, inovatif dan adaptif serta melakukan verifikasi dengan realitas di lapangan.

Meskipun demikian, bukan berarti peran manusia dalam membangun PR akan sepenuhnya hilang. Sebaliknya peran PR tetap diperlukan terutama untuk peran-peran yang bersifat kualitatif dan analisa. Hal ini yang akan menjadi peluang besar dibalik tantangan tersebut. 

Berikut adalah beberapa peran yang dapat dilakukan oleh PR, dalam menghadapi tantangan AI:

1. Memperkuat analisa data dan berbagai macam skill:

Perkembangan dunia yang dinamis menuntut PR untuk lebih adaptif dengan berbagai perubahan yang terjadi akibat AI. Berkat adanya AI, PR diberikan kemudahan dalam memperoleh banyak data. Salah satu contohnya adalah adanya media monitoring, dimana PR dapat lebih mudah untuk menghitung jumlah pemberitaan yang beredar. Dengan adanya otomasi dalam pencarian data, PR dapat lebih mudah untuk melakukan analisa data, seperti mengevaluasi dan membuat laporan dari data-data yang terkumpul. 

Selain analisa data, PR dapat proaktif untuk mengembangkan berbagai macam skill. Pelajarilah berbagai macam skill, karena tidak menutup kemungkinan skill yang kita andalkan dapat digantikan oleh AI. Adapun skill yang paling sulit untuk digantikan oleh AI adalah skill terkait komunikasi seperti public speaking, negosiasi, dsb. Luangkanlah banyak waktu kita untuk mengasah skill tersebut.

2. Merespon krisis komunikasi dengan cepat:

Salah satu tugas terberat dari PR adalah mempersiapkan hal-hal yang tidak terduga atau segala kemungkinan yang dapat terjadi. Seperti yang disebutkan dalam poin sebelumnya, media monitoring memudahkan kita untuk memperoleh data-data pemberitaan, termasuk berita-berita negatif terhadap perusahaan. PR dituntut untuk lebih siap standby dan responsif terhadap kondisi-kondisi ini. 

Dengan berbagai kemudahan ini, PR menjadi lebih mudah untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah krisis komunikasi. PR dapat lebih membedakan apa krisis komunikasi yang perlu ditindak lanjut dan dan tidak. Jika terjadi masalah yang serius, PR dapat melakukan berbagai tindakan seperti membuat stand by statement, siaran pers, ataupun konferensi pers.

3. Meningkatkan kualitas media relation:

Dengan adanya AI, PR dapat lebih mudah untuk melakukan media profiling. Melalui media profiling, PR dapat lebih mudah untuk membuat strategi komunikasi serta program yang tepat guna dengan media.  

Untuk itu, PR harus sering meluangkan banyak waktu untuk bersilaturahmi dengan media, khususnya secara tatap muka. Akan lebih efektif jika silaturahmi dilakukan secara langsung (tatap muka) dan berkesinambungan. Perbanyak silaturahmi secara informal seperti dengan makan, olahraga hingga wisata bersama agar suasana semakin cair. 

Perkembangan AI tidak akan menghilangkan peran manusia. Adaptif dan inovatif menjadi kunci penting agar PR dapat terus bertahan dan relevan dengan zaman.

Referensi

Arief, D. N. (2019). Public Relations in The Era of Artificial Inteligence. Simbiosa Rekatama Media.