Tag Archives: Trauma

Drama di Grup WhatsApp Bikin Trauma, Kok Bisa?

#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik

Pernah mengalami jadi saksi bisu ketika Pak RT menegur kesalahan warga di grup WhatsApp? Atau mengalami momen canggung saat bos memarahi karyawan di grup WA kantor? Bahkan grup WA keluarga pun bisa jadi bikin tidak betah saat ada anggotanya tidak menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.

Umumnya, tujuan grup WhatsApp dibuat untuk mempersatukan, tapi tak jarang chat-chat di grup justru bisa bikin anggotanya tercerai-berai. Lantas satu persatu anggotanya memilih balik kanan, bubar jalan, left grup.

Idealnya, grup WA bisa menjadi support system bagi seluruh anggota. Ketika satu anggota tertimpa masalah, lalu curhat di grup, teman-teman di grup buru-buru bahu-membahu untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bergabung di grup yang awalnya tidak ada masalah, justru jadi punya masalah karena bersinggungan dengan sesama anggota yang lain.

Sifat grup WA yang terbuka untuk semua anggota menjadikan ruang obrolan dikategorikan ke dalam ranah publik. Jadi, ketika seseorang menyerang sesama anggota di grup, bisa dikategorikan public shaming. Dampaknya, orang yang diserang merasa dipermalukan di depan umum. Bahkan efeknya tidak berhenti di situ. Anggota lain di grup yang menyaksikan kekerasan verbal itu bisa ikut mengalami trauma. Sebab mereka berpikir bisa menjadi korban selanjutnya.

Grup kantor, grup warga lingkungan, grup alumni, grup keluarga besar, dan grup-grup lainnya harus bisa menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh anggotanya. Yang paling utama dijunjung oleh semua anggota grup adalah sikap respek. Menghormati semua anggota grup adalah keharusan. 

Grup kantor yang berisi rekan kerja, haruslah merangkul semua anggotanya. Saling support antar anggota. Jika ada kesalahan dalam pekerjaan, sebaiknya disampaikan secara jalur pribadi. Jangan memperlihatkan kesalahan itu di grup, di mana semua anggota bisa melihat kesalahan itu dengan jelas. Bisa jadi orang yang diperlihatkan kesalahannya di grup bakalan merasa dijatuhkan harga diri dan kehormatannya.

Grup warga yang biasanya dijadikan ajang silaturahmi dan koordinasi di lingkungan tempat tinggal, janganlah jadi media untuk menyindir warga lain. Entah apa masalahnya, sebaiknya dibicarakan dari hati ke hati, jangan via grup yang bisa dibaca semua warga. Seperti kata bijak yang menyatakan bahwa tetangga adalah keluarga terdekat, anggaplah seluruh warga di grup WA sebagai sanak-famili beda rumah. Sebab setiap kepala yang tergabung dalam grup WA adalah kepala keluarga. Walaupun posisinya di grup hanya anggota, mereka tetaplah kehormatan keluarga di rumah masing-masing.

Grup alumni yang niatnya menjadi ajang haha-hihi membahas masa lalu saat di sekolah dan kampus, tak jarang beralih fungsi jadi ajang pamer pencapaian hidup. Grup WA alumni tak ubahnya gladi resik reuni. Sebelum pamer harta benda dan kenaikan jabatan di acara reuni, kasih sedikit spoiler di grup WA. Padahal di grup WA mungkin tak semuanya mengalami keberuntungan dalam hal karier dan pekerjaan. Bisa jadi masih ada yang sedang merintis usaha dari nol setelah mengalami kebangkrutan, atau bahkan berjuang mencari kerja setelah kena PHK. Tega bikin insecure teman senasib sepenanggungan saat masih menimba ilmu dulu?

Grup keluarga tak ubahnya rumah maya. Ketika anggota keluarga merantau ke luar kota atau tinggal di kota-kota berbeda, setidaknya mereka masih di satu ruang yang sama dengan saudara-saudaranya di grup keluarga besar. Saat grup WA kantor bikin pusing, grup alumni bikin insecure, dan grup tetangga bikin hati panas, sisakan grup keluarga untuk mengobati semua luka itu.